Rabu, 31 Maret 2010

PENDAMPINGAN SOSIAL DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MISKIN: KONSEPSI DAN STRATEGI

PENDAMPINGAN SOSIAL DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MISKIN: KONSEPSI DAN STRATEGI

Oleh Edi Suharto, PhD

 Dosen STKS, UNPAS dan UNLA Bandung. International Policy Analyst, 

 Centre for Policy Studies (CPS), Central European University, Hungary)

 

PENDAMPINGAN SOSIAL

       Pemberdayaan masyarakat dapat didefinisikan sebagai tindakan sosial dimana penduduk sebuah komunitas mengorganisasikan diri dalam membuat perencanaan dan tindakan kolektif untuk memecahkan masalah sosial atau memenuhi kebutuhan sosial sesuai dengan kemampuan dan sumberdaya yang dimilikinya. Dalam kenyataannya, seringkali proses ini tidak muncul secara otomatis, melainkan tumbuh dan berkembang berdasarkan interaksi masyarakat setempat dengan pihak luar atau para pekerja sosial baik yang bekerja berdasarkan dorongan karitatif maupun perspektif profesional. Para pekerja sosial ini berperan sebagai pendamping sosial. 

         Masyarakat miskin seringkali merupakan kelompok yang tidak berdaya baik karena hambatan internal dari dalam dirinya maupun tekanan eksternal dari lingkungannya. Pendamping sosial kemudian hadir sebagai agen perubah yang turut terlibat membantu memecahkan persoalan yang dihadapi mereka. Pendampingan sosial dengan demikian dapat diartikan sebagai interaksi dinamis antara kelompok miskin dan pekerja sosial untuk secara bersama-sama menghadapi beragam tantangan seperti; (a) merancang program perbaikan kehidupan sosial ekonomi, (b) memobilisasi sumber daya setempat (c) memecahkan masalah sosial, (d) menciptakan atau membuka akses bagi pemenuhan kebutuhan, dan (e) menjalin kerjasama dengan berbagai pihak yang relevan dengan konteks pemberdayaan masyarakat. 

        Pendampingan sosial sangat menentukan kerberhasilan program penanggulangan kemiskinan. Mengacu pada Ife (1995), peran pendamping umumnya mencakup tiga peran utama, yaitu: fasilitator, pendidik, perwakilan masyarakat, dan peran-peran teknis bagi masyarakat miskin yang didampinginya. 

 1.   Fasilitator. Merupakan peran yang berkaitan dengan pemberian motivasi, kesempatan, dan dukungan bagi masyarakat. Beberapa tugas yang berkaitan dengan peran ini antara lain menjadi model, melakukan mediasi dan negosiasi, memberi dukungan, membangun konsensus bersama, serta melakukan pengorganisasian dan pemanfaatan sumber.

 2.   Pendidik. Pendamping berperan aktif sebagai agen yang memberi masukan positif dan direktif berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya serta bertukar gagasan dengan pengetahuan dan pengalaman masyarakat yang didampinginya. Membangkitkan kesadaran masyarakat, menyampaikan informasi, melakukan konfrontasi, menyelenggarakan pelatihan bagi masyarakat adalah beberapa tugas yang berkaitan dengan peran pendidik.

 3.   Perwakilan masyarakat. Peran ini dilakukan dalam kaitannya dengan interaksi antara pendamping dengan lembaga-lembaga eksternal atas nama dan demi kepentingan masyarakat dampingannya. Pekerja sosial dapat bertugas mencari sumber-sumber, melakukan pembelaan, menggunakan media, meningkatkan hubungan masyarakat, dan membangun jaringan kerja.

 4.   Peran-peran teknis. Mengacu pada aplikasi keterampilan yang bersifat praktis. Pendamping dituntut tidak hanya mampu menjadi ‘manajer perubahan” yang mengorganisasi kelompok, melainkan pula mampu melaksanakan tugas-tugas teknis sesuai dengan berbagai keterampilan dasar, seperti; melakukan analisis sosial, mengelola dinamika kelompok, menjalin relasi, bernegosiasi, berkomunikasi, memberi konsultasi, dan mencari serta mengatur sumber dana.

 

DIMENSI DAN INDIKATOR KEMISKINAN

         Berdasarkan definisi kemiskinan dan fakir miskin dari BPS dan Depsos (2002), jumlah penduduk miskin pada tahun 2002 mencapai 35,7 juta jiwa dan 15,6 juta jiwa (43%) diantaranya masuk kategori fakir miskin. Secara keseluruhan, prosentase penduduk miskin dan fakir miskin terhadap total penduduk Indonesia adalah sekira 17,6 persen dan 7,7 persen. Ini berarti bahwa secara rata-rata jika ada 100 orang Indonesia berkumpul, sebanyak 18 orang diantaranya adalah orang miskin, yang terdiri dari 10 orang bukan fakir miskin dan 8 orang fakir miskin (Suharto, 2004:3). 

 Pengertian Kemiskinan 

 ·     Kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak (BPS dan Depsos, 2002:3).

 ·     Kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan, yang disebut garis kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan (poverty threshold). Garis kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan non-makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya (BPS dan Depsos, 2002:4).

 ·     Kemiskinan pada umumnya didefinisikan dari segi pendapatan dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan-keuntunan non-material yang diterima oleh seseorang. Secara luas kemiskinan meliputi kekurangan atau tidak memiliki pendidikan, keadaan kesehatan yang buruk, kekurangan transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat (SMERU dalam Suharto dkk, 2004).

 ·     Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan atau orang yang mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan (Depsos, 2001).

 ·     Kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial meliputi: (a) modal produktif atau asset (tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan), (b) sumber keuangan (pekerjaan, kredit), (c) organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (koperasi, partai politik, organisasi sosial), (d) jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang, dan jasa, (e) pengetahuan dan keterampilan, dan (f) informasi yang berguna untuk kemajuan hidup (Friedman dalam Suharto, dkk.,2004:6).

 Dimensi Kemiskinan 

 Kemiskinan merupakan fenomena yang berwayuh wajah. David Cox (2004:1-6) membagi kemiskinan kedalam beberapa dimensi: 

 ·     Kemiskinan yang diakibatkan globalisasi. Globalisasi menghasilkan pemenang dan pengkalah. Pemenang umumnya adalah negara-negara maju. Sedangkan negara-negara berkembang seringkali semakin terpinggirkan oleh persaingan dan pasar bebas yang merupakan prasyarat globalisasi.

 ·     Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan. Kemiskinan subsisten (kemiskinan akibat rendahnya pembangunan), kemiskinan pedesaan (kemiskinan akibat peminggiran pedesaan dalam proses pembangunan), kemiskinan perkotaan (kemiskinan yang sebabkan oleh hakekat dan kecepatan pertumbuhan perkotaan).

 ·     Kemiskinan sosial. Kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas.

 ·     Kemiskinan konsekuensial. Kemiskinan yang terjadi akibat kejadian-kejadian lain atau faktor-faktor eksternal di luar si miskin, seperti konflik, bencana alam, kerusakan lingkungan, dan tingginya jumlah penduduk.

 Menurut SMERU (2001), kemiskinan memiliki berbagai dimensi: 

 ·     Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang dan papan).

 ·     Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi).

 ·     Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga).

 ·     Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal.

 ·     Rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan keterbatasan sumber alam.

 ·     Tidak dilibatkannya dalam kegiatan sosial masyarakat.

 ·     Tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan.

 ·     Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental.

 ·     Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak telantar, wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil)(Suharto, dkk, 2004:7-8).

 DIMENSI DAN INDIKATOR PEMBERDAYAAN MASYARAKAT 

 Salah satu pendekatan yang kini sering digunkan dalam meningkatkan kualitas kehidupan dan mengangkat harkat martabat keluarga miskin adalah pemberdayaan masyarakat. Konsep ini menjadi sangat penting terutama karena memberikan perspektif positif terhadap orang miskin. Orang miskin tidak dipandang sebagai orang yang serba kekurangan (misalnya, kurang makan, kurang pendapatan, kurang sehat, kurang dinamis) dan objek pasif penerima pelayanan belaka. Melainkan sebagai orang yang memiliki beragam kemampuan yang dapat dimobilisasi untuk perbaikan hidupnya. Konsep pemberdayaan memberi kerangka acuan mengenai matra kekuasaan (power) dan kemampuan (kapabilitas) yang melingkup aras sosial, ekonomi, budaya, politik dan kelembagaan. 

 Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment), berasal dari kata ‘power’ (kekuasaan atau keberdayaan). Karenanya, ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan. Kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kemampuan kita untuk membuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan, terlepas dari keinginan dan minat mereka. Ilmu sosial tradisional menekankan bahwa kekuasaan berkaitan dengan pengaruh dan kontrol. Pengertian ini mengasumsikan bahwa kekuasaan sebagai sesuatu yang tidak berubah atau tidak dapat dirubah. Kekuasaan sesungguhnya tidak terbatas pada pengertian di atas. Kekuasaan tidak vakum dan terisolasi. Kekuasaan senantiasa hadir dalam konteks relasi sosial antar manusia. Kekuasaan tercipta dalam relasi sosial. Karena itu, kekuasaan dan hubungan kekuasaan dapat berubah. Dengan pemahaman kekuasaan seperti ini, pemberdayaan sebagai sebuah proses perubahan kemudian memiliki konsep yang bermakna. Dengan kata lain, kemungkinan terjadinya proses pemberdayaan sangat tergantung pada dua hal: (1) Bahwa kekuasaan dapat berubah. Jika kekuasaan tidak dapat berubah, pemberdayaan tidak mungkin terjadi dengan cara apapun; dan (2) Bahwa kekuasaan dapat diperluas. Konsep ini menekankan pada pengertian kekuasaan yang tidak statis, melainkan dinamis. 

 Pengertian Pemberdayaan 

 ·     Pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung (Ife, 1995: 56).

 ·     Pemberdayaan menunjuk pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial (Swift dan Levin (1987: xiii).

 ·     Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai (atau berkuasa atas) kehidupannya (Rappaport, 1984: 3).

 ·     Pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan atas, dan mempengaruhi terhadap, kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Parsons, et al., 1994:106).

 ·     Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah, untuk (a) memiliki akses terhadap sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-baran dan jasa-jasa yang mereka perlukan; dan (b) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.

 Beragam definisi pemberdayaan menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagi tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat miskin yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah proses. 

 Indikator Pemberdayaan 

 Agar para pendamping mengetahui fokus dan tujuan pemberdayaan, maka perlu diketahui berbagai indikator yang dapat menunjukkan seseorang itu berdaya atau tidak. Sehingga ketika pendampingan sosial diberikan, segenap upaya dapat dikonsentrasikan pada aspek-aspek apa saja dari sasaran perubahan (keluarga miskin) yang perlu dioptimalkan. Schuler, Hashemi dan Riley mengembangkan beberapa indikator pemberdayaan, yang mereka sebut sebagai empowerment index atau indeks pemberdayaan (Girvan, 2004): 

 ·     Kebebasan mobilitas: kemampuan individu untuk pergi ke luar rumah atau wilayah tempat tinggalnya, seperti ke pasar, fasilitas medis, bioskop, rumah ibadah, ke rumah tetangga. Tingkat mobilitas ini dianggap tinggi jika individu mampu pergi sendirian.

 ·     Kemampuan membeli komoditas ‘kecil’: kemampuan individu untuk membeli barang-barang kebutuhan keluarga sehari-hari (beras, minyak tanah, minyak goreng, bumbu); kebutuhan dirinya (minyak rambut, sabun mandi, rokok, bedak, sampo). Individu dianggap mampu melakukan kegiatan ini terutama jika ia dapat membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin pasangannya; terlebih jika ia dapat membeli barang-barang tersebut dengan menggunakan uangnya sendiri.

 ·     Kemampuan membeli komoditas ‘besar’: kemampuan individu untuk membeli barang-barang sekunder atau tersier, seperti lemari pakaian, TV, radio, koran, majalah, pakaian keluarga. Seperti halnya indikator di atas, poin tinggi diberikan terhadap individu yang dapat membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin pasangannya; terlebih jika ia dapat membeli barang-barang tersebut dengan menggunakan uangnya sendiri.

 ·     Terlibat dalam pembuatan keputusan-keputuan rumah tangga: mampu membuat keputusan secara sendiri mapun bersama suami/istri mengenai keputusan-keputusan keluarga, misalnya mengenai renovasi rumah, pembelian kambing untuk diternak, memperoleh kredit usaha.

 ·     Kebebasan relatif dari dominasi keluarga: responden ditanya mengenai apakah dalam satu tahun terakhir ada seseorang (suami, istri, anak-anak, mertua) yang mengambil uang, tanah, perhiasan dari dia tanpa ijinnya; yang melarang mempunyai anak; atau melarang bekerja di luar rumah.

 ·     Kesadaran hukum dan politik: mengetahui nama salah seorang pegawai pemerintah desa/kelurahan; seorang anggota DPRD setempat; nama presiden; mengetahui pentingnya memiliki surat nikah dan hukum-hukum waris.

 ·     Keterlibatan dalam kampanye dan protes-protes: seseorang dianggap ‘berdaya’ jika ia pernah terlibat dalam kampanye atau bersama orang lain melakukan protes, misalnya, terhadap suami yang memukul istri; istri yang mengabaikan suami dan keluarganya; gaji yang tidak adil; penyalahgunaan bantuan sosial; atau penyalahgunaan kekuasaan polisi dan pegawai pemerintah.

 ·     Jaminan ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga: memiliki rumah, tanah, asset produktif, tabungan. Seseorang dianggap memiliki poin tinggi jika ia memiliki aspek-aspek tersebut secara sendiri atau terpisah dari pasangannya.

 Keberhasilan pemberdayaan keluarga miskin dapat dilihat dari keberdayaan mereka yang menyangkut kemampuan ekonomi, kemampuan mengakses manfaat kesejahteraan, dan kemampuan kultural dan politis jenis. Ketiga aspek tersebut dikaitkan dengan empat dimensi kekuasaan, yaitu: ‘kekuasaan di dalam’ (power within), ‘kekuasaan untuk’ (power to), ‘kekuasaan atas’ (power over), dan ‘kekuasaan dengan’ (power with). Tabel 1 di bawah ini memperlihatkannya. 

 PENDAMPINGAN SOSIAL SEBAGAI STRATEGI PEMBERDAYAAN 

 Bagi para pekerja sosial di lapangan, kegiatan pemberdayaan di atas dapat dilakukan melalui pendampingan sosial. Terdapat lima kegiatan penting yang dapat dilakukan dalam melakukan pendampingan sosial: 

 1.   Motivasi. Keluarga miskin dapat memahami nilai kebersamaan, interaksi sosial dan kekuasaan melalui pemahaman akan haknya sebagai warga negara dan anggota masyarakat. Rumah tangga miskin perlu didorong untuk membentuk kelompok yang merupakan mekanisme kelembagaan penting untuk mengorganisir dan melaksanakan kegiatan pengembangan masyarakat di desa atau kelurahannya. Kelompok ini kemudian dimotivasi untuk terlibat dalam kegiatan peningkatan pendapatan dengan menggunakan sumber-sumber dan kemampuan-kemampuan mereka sendiri. 

 2.   Peningkatan kesadaran dan pelatihan kemampuan. Peningkatan kesadaran masyarakt dapat dicapai melalui pendidikan dasar, pemasyarakatan imunisasi dan sanitasi. Sedangkan keterampilan-keterampilan vokasional bisa dikembangkan melalui cara-cara partsipatif. Pengetahuan lokal yang biasanya diperoleh melalui pengalaman dapat dikombinasikan dengan pengetahuan dari luar. Pelatihan semacam ini dapat membantu masyarakat miskin untuk menciptakan matapencaharian sendiri atau membantu meningkatkan keahlian mereka untuk mencari pekerjaan di luar wilayahnya.

 3.   Manajemen diri. Kelompok harus mampu memilih pemimpin mereka sendiri dan mengatur kegiatan mereka sendiri, seperti melaksanakan pertemuan-pertemuan, melakukan pencatatan dan pelaporan, mengoperasikan tabungan dan kredit, resolusi konflik dan manajemen kepemilikan masyarakat. Pada tahap awal, pendamping dari luar dapat membantu mereka dalam mengembangkan sebuah sistem. Kelompok kemudian dapat diberi wewenang penuh untuk melaksanakan dan mengatur sistem tersebut.

 4.   Mobilisasi sumber. Merupakan sebuah metode untuk menghimpun sumber-sumber individual melalui tabungan reguler dan sumbangan sukarela dengan tujuan menciptakan modal sosial. Ide ini didasari pandangan bahwa setiap orang memiliki sumbernya sendiri yang, jika dihimpun, dapat meningkatkan kehidupan sosial ekonomi secara substansial. Pengembangan sistem penghimpunan, pengalokasian dan penggunaan sumber perlu dilakukan secara cermat sehingga semua anggota memiliki kesempatan yang sama. Hal ini dapat menjamin kepemilikan dan pengelolaan secara berkelanjutan.

 5.   Pembangunan dan pengembangan jaringan. Pengorganisasian kelompok-kelompok swadaya masyarakat perlu disertai dengan peningkatan kemampuan para anggotanya membangun dan mempertahankan jaringan dengan berbagai sistem sosial di sekitarnya. Jaringan ini sangat penting dalam menyediakan dan mengembangkan berbagai akses terhadap sumber dan kesempatan bagi peningkatan keberdayaan masyarakat miskin.

 Dalam kaitannya dengan masyarakat miskin, lima aspek pemberdayaan di atas dapat dilakukan melalui lima strategi pemberdayaan yang dapat disingkat menjadi 5P, yaitu: Pemungkinan, Penguatan, Perlindungan, Penyokongan dan Pemeliharaan (Suharto, 1997:218-219): 

 1.   Pemungkinan: menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat miskin berkembang secara optimal. Pemberdayaan harus mampu membebaskan masyarakat miskin dari sekat-sekat kultural dan struktural yang menghambat. 

 2.   Penguatan: memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat miskin dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Pemberdayaan harus mampu menumbuh-kembangkan segenap kemampuan dan kepercayaan diri masyarakat miskin yang menunjang kemandirian mereka. 

 3.   Perlindungan: melindungi masyarakat terutama kelompok-kelompok lemah agar tidak tertindas oleh kelompok kuat, menghindari terjadinya persaingan yang tidak seimbang (apalagi tidak sehat) antara yang kuat dan lemah, dan mencegah terjadinya eksploitasi kelompok kuat terhadap kelompok lemah. Pemberdayaan harus diarahkan pada penghapusan segala jenis diskriminasi dan dominasi yang tidak menguntungkan rakyat kecil. 

 4.   Penyokongan: memberikan bimbingan dan dukungan agar masyarakat miskin mampu menjalankan peranan dan tugas-tugas kehidupannya. Pemberdayaan harus mampu menyokong masyarakat miskin agar tidak terjatuh ke dalam keadaan dan posisi yang semakin lemah dan terpinggirkan.

 5.   Pemeliharaan: memelihara kondisi yang kondusif agar tetap terjadi keseimbangan distribusi kekuasaan antara berbagai kelompok dalam masyarakat. Pemberdayaan harus mampu menjamin keselarasan dan keseimbangan yang memungkinkan setiap orang memperoleh kesempatan berusaha.

 REFERENSI 

 BPS/Badan Pusat Statistik dan Depsos/Departemen Sosial (2002), Penduduk Fakir Miskin Indonesia 2002, Jakarta: BPS 

 Cox, David (2004), “Outline of Presentation on Poverty Alleviation Programs in the Asia-Pacific Region” makalah yang disampaikan pada International Seminar on Curriculum Development for Social Work Education in Indonesia,, Bandung: Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial, 2 Maret 

 DuBois, Brenda dan Karla Krogsrud Miley (1992), Social Work: An Empowering Profession, Boston: Allyn and Bacon 

 Ife, Jim (1995), Community Development: Creating Community Alternatives,Vision, Analysis and Practice, Longman, Australia, 

 Kieffer, C. H., Citizen Empowerment: A Developmental Perspective, Prevention in Human Service, Vol. 3, USA, 1984

 Parsons, Ruth J., James D. Jorgensen, Santos H. Hernandez, The Integration of Social Work Practice. Wadsworth, Inc., California, 1994

 Rappaport, J., Studies in Empowerment: Introduction to the Issue, Prevention In Human Issue, USA, 1984

 Suharto, Edi (1997), Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Spektrum Pemikiran, Bandung: Lembaga Studi Pembangunan-STKS

 --------, (2004), “Social Welfare Problems and Social Work in Indonesia: Trends and Issues” (Masalah Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial di Indonesia: Kecenderungan dan Isu), makalah yang disampaikan pada International Seminar on Curriculum Development for Social Work Education in Indonesia, Bandung: Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial, 2 Maret

 --------. dkk., (2004), Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial: Studi Kasus Rumah Tangga Miskin di Indonesia, Bandung: STKSPress

 Swift, C., & G. Levin, Empowerment: An Emerging Mental Health Technology, Journal of Primary Prevention, USA, 1987

Jumat, 26 Maret 2010

PERAN PEKERJA SOSIAL DALAM PENANGANAN MASALAH SOSIAL GLOBAL


PERAN PEKERJA SOSIAL DALAM

PENANGANAN MASALAH SOSIAL GLOBAL

Oleh: Edi Suharto, PhD

Abstract

This paper aims to identify roles of social workers in the alleviation of global social problems. It argues that globalisation leads to massive change, for better or worse, around the globe. This change provides challenges as well as opportunities for social workers to contribute their expertise in the global arena. As such, in order to respond to the global interdependence as well as its implications, both social welfare development and social workers in Indonesia require more robust commitment to the international dimensions of social work education, professional associations, and human services.

PROLOG

Sejalan dengan hadirnya era milenium baru, perubahan sosial berlangsung secara cepat dan massif, menyentuh setiap sisi kehidupan umat manusia di belahan bumi manapun. Berakhirnya Perang Dingin (The Cold War) ditandai dengan berakhirnya era konflik ideologis yang telah sekian lama membagi dunia kedalam dua kubu yang berlawanan. Kemenangan demokrasi atas totalitarianisme serta keunggulan kapitalisme atas sosialisme telah menawarkan peningkatan interaksi dan kolaborasi antar peradaban yang kemudian memperkuat hegemoni globalisasi.

Makalah ini mengkaji pembangunan kesejahteraan sosial dan peran pekerjaan sosial dalam konteks globalisasi. Dengan menempatkan globalisasi sebagai muara permasalahan sosial global, peran pekerjaan sosial (social work) dalam arena pembangunan kesejahteraan sosial pada skala nasional dan internasional menjadi mudah dipetakan. Selain itu, pandangan ini sejalan dengan paradigma baru pekerjaan sosial. Respon pekerja sosial tidak lagi bersifat reaktif-simptomatif yang hanya berperan sebagai “tukang sapu” sampah sosial. Melainkan, harus pula terlibat dalam perancangan kebijakan sosial strategis menghadapi perubahan sosial yang terjadi dalam matra global. Selain harus mampu menangani persoalan sosial yang muncul di hilir, pekerja sosial harus tanggap pula terhadap isu-isu sosial yang hadir di hulu.

Tulisan ini bersandar pada argumen pokok sebagai berikut: globalisasi ekonomi adalah ibarat pedang bermata dua; mata yang satu menorehkan kemakmuran ekonomi, sementara mata yang lainnya menggoreskan luka-luka kemanusiaan. Transformasi global ini kemudian mengguratkan tantangan sekaligus kesempatan pada para pekerja sosial, tidak hanya dalam skala nasional, melainkan pula pada aras internasional. Realitas baru yang terbentang memberi pesan jelas bahwa globalisasi menuntut redefinisi dan reposisi peran pekerjaan sosial serta pembangunan kesejahteraan sosial di Tanah Air yang berdimensi internasional. Alur pikir makalah ini disajikan dalam Gambar 1.

GLOBALISASI

Tidak berlebihan, jika membaik dan memburuknya persoalan global dipandang sebagai dampak dari, atau bermuara pada, globalisasi. Seorang kolumnis Boston Globe menyatakan: “Dalam dunia yang menciut, baik dan buruk dapat dengan mudahnya berpindah-pindah. Saat ini, kekuatan gelap globalisasi tampaknya lebih kuat menggenggam.” (Charles Stein dalam Damanhuri, 2003). Karenanya, mudah dipahami bahwa ketika Standars & Poor mengumumkan bahwa harga saham pada perusahaan-perusahaan AS pada Maret 2000 menurun sekitar 40 persen, dalam waktu singkat situasi ini merembet ke negara-negara Eropa Barat dan Asia. Dalam periode yang sama, Inggris mengalami penurunan saham sebesar 42 persen, Prancis sebesar 57 persen dan Jepang sebanyak 63 persen. Dampak negatif kemerosotan ekonomi ini pada gilirannya menimbulkan atau memperparah situasi kemiskinan dan pengangguran di negara-negara berkembang yang sebelumnya sudah buruk.

Globalisasi sering dipahami sebagai proses internasionalisasi perekonomian yang ditandai dengan semakin terbukanya perdagangan dan peredaran uang antar negara. Dalam bahasa Ramesh Mishra (1999:3-4), “Globalization refers to a process through which national economies are becoming more open and thus more subject to supranational economic influences and less amenable to national control.” Globalisasi dibentuk oleh politik dan ideologi neoliberalisme. Sehingga dalam kenyataannya, antara globalisme dan neoliberalisme adalah dwitunggal yang sulit dipisahkan. Neoliberalisme sendiri berakar pada ekonomi neo-klasik. Dua tokoh utama pemikiran ini adalah Frederick von Hayek dan muridnya Milton Friedman. Inti ajarannya menekankan pentingnya kebebasan, khususnya kebebasan ekonomi dari campur tangan negara. Negara dipandang sebagai penghambat mekanisme pasar dan karenanya mengganggu pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain, neoliberalisme sangat anti terhadap welfare state dan developmental state (Mishra, 1999; Suharto, 2001a.,2001b, 2002).

Kemakmuran versus Kesengsaraan

Dengan dukungan neoliberalisme, kekuatan globalisasi tidak ada yang meragukan. Bermula dari sekte kecil di Universitas Chicago, embusan globalisasi kini menguasai jaringan internasional, lembaga penelitian, pers, dan penerbitan. Sebagian besar ilmuwan dan kepala pemerintahan akan merasa “rendah diri” kalau tidak mengutip doktrin-doktrin neoliberalisme. TINA (There Is No Alternative) adalah jargonnya yang begitu membahana mengisi setiap relung pemikiran ekonom dan ilmuwan sosial. Seakan-akan, pembangunan dunia ini tidak memiliki alternatif lain, selain mengikuti pendekatan neoliberalisme. Dalam tataran praktis, hampir tidak ada satupun negara di dunia ini yang bebas dari Coca-cola, McDonald, KFC, dan Levis, lambang supremasi corporate capitalism yang menguasai sistem ekonomi abad 21 (Suharto, 2002).

Kemajuan standar hidup akibat globalisasi memang mengagumkan (lihat Baasir, 2003; UNDP, 2002:13). Akumulasi kekayaan dunia pada periode 1986-2000 melonjak empat kali lipat, dari 7,2 triliun dollar AS menjadi 27 triliun dollar AS. Jumlah penduduk dunia yang hidup dalam kemiskinan absolut menurun dari 29 persen di tahun 1990 menjadi 23 persen pada tahun 1999. Angka partisipasi Sekolah Dasar juga meningkat dari 80 persen (1990) menjadi 84 persen (1998). Sejak tahun 1990, sekitar 800 juta dan 750 juta orang telah memiliki akses terhadap air bersih dan sanitasi secara berturutan.

Namun di sebalik itu, globalisasi juga telah membawa penderitaan baru bagi dunia. Potret kemajuan di atas ternyata sebagian besar hanya dialami oleh negara-negara maju. Sedangkan kondisi kehidupan di negara-negara berkembang masih tetap atau bahkan semakin terbelakang. Seperti dilaporkan UNDP (2002:13), “But in a globalizing world the increasing interconnectedness of nations and peoples has made the differences between them more glaring.” Penemuan teknologi baru dan peningkatan integrasi ekonomi telah membuka kesempatan ekonomi global yang luar biasa. Tetapi di balik kemakmuran yang umumnya dialami negara-negara maju itu, kini masih terdapat 2,8 milyar orang yang hidup dengan pendapatan kurang dari 2 dollar AS per hari. Seorang gadis yang lahir di Jepang saat ini memiliki 50 persen kemungkinan untuk menatap abad ke-22, sedangkan 1 dari 4 bayi yang baru lahir di Afghanistan kemungkinan besar tidak akan pernah merayakan ulang tahunnya yang ke-5 (UNDP, 2002:1-13). UNDP (2002:13) menambahkan:

And the richest 5% of the world’s people have income 114 times those of the poorest 5%. Every day more than 30,000 children around the world die of preventable diseases, and nearly 14,000 people are infected with HIV/AIDS”

Berdasarkan studinya di negara-negara berkembang, Haque (1999) dalam bukunya, Restructuring Development Theories and Policies, menyimpulkan bahwa globalisasi bukan saja telah gagal mengatasi krisis pembangunan, melainkan pula telah semakin memperburuk situasi sosial-ekonomi di Dunia Ketiga (lihat Suharto, 2002:3):

Compared to the socioeconomic situation under the statist governments during the 1960s and 1970s, under the pro-market regimes of the 1980s and 1990s, the condition of poverty has worsened in many African and Latin American countries in terms of an increase in the number of people in poverty, and a decline in economic growth rate, per capita income, and living standards.

Kegagalan globalisasi seperti ini telah sering dibeberkan secara meriah dan meyakinkan oleh banyak tokoh dunia, ilmuwan sosial maupun ekonomi. Paul Krugman, David Korten, Noreena Hertz, Edward Luttwak, William Greider, dan peraih Nobel Ekonomi 2001, Joseph E. Stiglitz adalah beberapa ilmuwan yang lantang menentang dan/atau menunjukkan bahaya globalisasi.

Bahaya

Pertanyaannya, mengapa globalisasi dapat mendatangkan bencana? Sedikitnya ada tiga alasan utama mengapa globalisasi dapat membawa malapetaka bagi dunia.

Pertama, globalisasi didasari ideologi free market fundamentalism yang patuh pada mitos “the invisible hand” dan antipati terhadap peran negara (Stiglitz, 2003). Diyakini bahwa kalau pemerintah mengeliminasi intervensi ekonominya (subsidi, proteksi, kepemilikan), maka pasar privat dapat menjalankan perannya lebih efisien yang pada gilirannya mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial melalui mekanisme “efek rembesan ke bawah” (trickle down effect). Kenyataannya, “tangan tak kelihatan” itu tidak mampu mengatur pasar secara sempurna, utamanya di negara-negara berkembang, karena ketidaksempurnaan informasi dan ketidaklengkapan pasar. Sesungguhnya, dalam kondisi seperti ini, intervensi negara diperlukan untuk merespon ketidak-sempurnaan dan bahkan kegagalan pasar (market failure).

Kedua, globalisasi memperkokoh hegemoni perusahaan-perusahaan multinasional atau transnasional (MNCs/TNCs). Di balik kedok globalisasi, bersembunyi wajah neoliberalisme, dan di belakang neoliberalisme berjajar MNC yang memiliki kepentingan menguasai ekonomi dunia. Tony Clark (2001), dalam bukunya The Case Against The Global Economy, menunjukkan bahwa dari 100 pemegang kekayaan dunia, 52-nya adalah MNC; sebanyak 70 persen perdagangan global di kontrol oleh hanya 500 MNC, dan 443 dari 500 perusahaan tersebut berasal atau berlokasi di AS (185), Eropa (158) dan Jepang (100) (lihat Khudori, 2003).

Kelimpahan kekayaan MNC membuat mereka memiliki posisi tawar (bargaining position) yang kuat. Mereka dapat memaksa negara (baca: kepala pemerintahan) bertekuk lutut. MNC bisa menawarkan investasi, lapangan pekerjaan, dan pertumbuhan ekonomi bagi negara sejauh memenuhi syarat-syarat yang ditetapkannya (pajak rendah, upah buruh minimum, serikat buruh yang lunak). Melemahnya sistem welfare state di Eropa Barat, misalnya, dapat disebut sebagai bentuk “tunduknya” kepala negara kepada MNC. Seperti dicatat Wibowo (2002), sampai tahun 1980-an tidak ada satu pun negara di Eropa Barat yang berani mengubah kebijakan sosial (kesehatan, pendidikan, jaminan hari tua) yang amat sensitif ini. Di pelopori panji ekonomi “Thatcherisme”, satu demi satu negara-negara yang terkenal dengan “keroyalan” pembangunan kesejahteraan sosial-nya itu “merestrukturisasi” welfare state. (lihat Suharto, 2004, Negara Lemah versus Negara Sejahtera). Alasannya, welfare state dianggap “boros” dan menakutkan para MNC memasukan modalnya ke negara mereka (Esping-Andersen, 1996; Stephens, 1996).

Ketiga, bahaya globalisasi tidak hanya disebabkan oleh saratnya muatan ideologi neoliberalisme dan kepentingan kapitalis dunia. Lebih jauh, ia disokong oleh tiga lembaga internasional penting: Bank Dunia, International Monetary Fund (IMF) dan World Trade Organization (WTO) yang sanggup mencengkram dunia. Melalui strategy export-oriented production dan pendekatan structural adjustment policy (SAP), Bank Dunia dan IMF bertindak laksana agen kolonialisme baru yang mengeruk kekayaan negara-negara berkembang. Ketika sebuah negara sudah tergantung secara ekonomi karena terjebak pinjaman yang berkedok bantuan, maka WTO dapat dengan leluasa meliberalisasi ekonomi negara tersebut (Wibowo, 2002; Baswir, 2003). Seperti dinyatakan Khudori (2003:4):

Sudah tak terhitung berapa jumlah negara yang jadi korban neoliberalisme, Indonesia salah satunya…Dalam posisi yang lemah, satu per satu sektor-sektor publik yang semula diurus negara dilucuti dan diserahkan kepada mekanisme pasar, seperti sektor pangan, migas, listrik, BUMN, pendidikan, dan kini akan menyusul air.

Jelaslah, secara internasional memburuknya permasalahan sosial global bermuara pada globalisasi. Melebarnya kesenjangan sosial-ekonomi antara negara maju dan berkembang, meningkatnya ketergantungan negara berkembang terhadap negara maju, serta menguatnya dominasi negara kapitalis atas faktor-faktor produksi negara berkembang telah melahirkan dan bahkan memperparah tragedi kemanusiaan. Selain itu, melemahnya peran negara dalam pembangunan ekonomi pada gilirannya akan disusul dengan melemahnya peran negara dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Sebagaimana terjadi di banyak negara berkembang, melemahnya peran negara ini seringkali menjadi pemicu disintegrasi sosial dan munculnya permasalahan sosial “lokal”.

PERAN PEKERJAAN SOSIAL

Pekerjaan sosial sebagai profesi kemanusiaan yang digerakkan oleh ilmu, teknologi dan etika pertolongan harus menyadari bahwa globalisasi adalah keniscayaan sejarah yang tidak dapat dipungkiri eksistensinya. Namun, karena globalisasi ini tidak bebas nilai, ia memuat hidden agendas yang dapat membahayakan kehidupan umat manusia. Pekerja sosial perlu waspada terhadap isu-isu yang ditawarkan globalisasi. Isu-isu seperti liberalisasi perdagangan, investasi dunia, HAM, lingkungan hidup, hak paten, dan bahkan terma-terma akademis seperti demokratisasi, community empowerment, local participation, indigenous culture, tidak jarang digunakan sebagi “kemasan logis” neoliberalisme agar “jebakan-jebakan kepentingan” dapat menebar dengan masuk akal dan leluasa. Diharapkan ekonomi dunia tetap berada di bawah kendali kelas kapitalis internasional. Melalui kesadaran ini, maka fokus pekerjaan sosial hendaknya tidak hanya diarahkan untuk menanggulangi permasalahan sosial global yang diakibatkan globalisasi. Melainkan pula, dan ini yang lebih penting, harus diarahkan pada usaha perlawanan terhadap agenda-agenda globalisasi, termasuk kepada neoliberalisme sebagai ideologi yang menjadi ruh globalisasi.

Think Globally and Act Globally

Sebagaimana dinyatakan Hokenstad dan Midgley (1997:1), “social work remains a profession with a largely local orientation.” Tampaknya, para pekerja sosial sangat terkesan dengan pemikiran yang berkembang selama ini, yakni: “berpikirlah secara global, namun bertindaklah secara lokal” (think globally and act locally). Sebagian besar pekerja sosial berkiprah dalam konteks pelayanan sosial lokal. Tugas mereka, apakah membantu individu, keluarga atau komunitas, senantiasa berbasis lokal. Meskipun sebagian besar pekerjaan sosial sangat dipengaruhi oleh lingkungan nasionalnya, termasuk pendanaan, kebijakan dan program, pandangan selintas menunjukkan bahwa seolah-olah praktik pekerjaan sosial tidak terpengaruh secara langsung oleh kecenderungan dan isu-isu global (Hokenstad dan Midgley, 1997).

Namun demikian, pekerjaan sosial akan semakin mengalami kesulitan dalam menjalankan fungsinya secara efektif tanpa pemahaman mengenai lingkungan global. Kekuatan-kekuatan global di luar pembangunan dan kebijakan nasional memiliki pengaruh langsung terhadap kehidupan lokal. Sistem perekonomian semakin terbuka dan mengglobal. Lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia dan IMF kini semakin berpengaruh bukan saja terhadap kebijakan ekonomi, melainkan pula kebijakan sosial. Pekerjaan, program jaminan pensiun, serta jenis dan jumlah pelayanan sosial yang tersedia dalam skala lokal secara langsung sangat dipengaruhi oleh agen internasional tersebut. Moynihan (1993) menyatakan bahwa menguatnya globalisasi ekonomi dapat mengubah dan mempengaruhi dunia di luar batas negara-bangsa; sekurang-kurangnya dalam kaitannya dengan pengaruhnya terhadap kehidupan individu. Dua alasan berikut ini, memperkuat argumen di atas (lihat Hokenstad dan Midgley, 1997:1-2):

Pertama, praktik pekerjaan sosial dengan individu dalam skala lokal semakin terpengaruh oleh permasalahan global. Contoh utamanya adalah meningkatnya “tribalisasi” politik dunia. Dengan berakhirnya Perang Dingin dan meredupnya Perang Ideologi sebagai sumber utama konflik internasional, suku dan agama bukan saja semakin menjadi sumber identitas kelompok, melainkan pula konflik antar kelompok. Di seantero dunia, apakah itu di Rwanda, Bosnia, Timur Tengah dan Indonesia, konflik etnis telah meningkatkan jumlah pengungsi. Sampai dengan pertengahan tahun 1990an, di seluruh dunia terdapat sekitar 20 juta orang yang mengungsi ke luar negaranya, dan 20 juta orang lagi mengungsi ke wilayah lain di negaranya. Fenomena ini merupakan tragedi kemanusiaan terbesar sepanjang sejarah kehidupan umat manusia. Sebagai akibatnya, semakin banyak pekerja sosial di seluruh dunia yang bekerja membantu pengungsi, baik di negaranya sendiri mapun di luar negeri. Pekerja sosial yang bekerja pada masyarakat dengan kebudayaan berbeda perlu memiliki pemahaman mengenai akar budaya dan ragam etnis.

Kedua, meningkatnya kemiskinan di suatu negara dan ketimpangan ekonomi antar negara merupakan realitas global yang mempengaruhi pekerjaan sosial. Dekade tahun 1980an dan 1990an telah menyaksikan terjadinya kesenjangan pendapatan, bukan saja karena negara kaya semakin kaya, melainkan pula karena negara miskin semakin miskin. Frank dan Cook (1995) menyebut situasi ini dengan istilah “the winner-take-all society”. Banyak negara berkembang, khususnya di Afrika dan Asia Selatan, sangat dipengaruhi oleh peningkatan disparitas kemakmuran ini. Terdapat kesenjangan kualitas hidup diantara umat manusia di dunia ini, dan kesenjangan tersebut tampaknya semakin lebar. Di 19 negara, pendapatan per kapita lebih rendah di bandingkan tahun 1960, dan sebanyak 1,6 milyar orang memiliki kondisi kehidupan yang lebih buruk dibandingkan 15 tahun lalu. Derajat kesengsaraan tersebut bersifat global dan karenanya memiliki dampak terhadap tanggungjawab pekerjaan sosial di seluruh dunia.

Kedua deskripsi di atas hanyalah sebagian kecil dari noktah global yang menantang para pekerja sosial saat ini dan di masa depan. Tantangan berikutnya yang tidak kalah penting adalah pelanggaran HAM, AIDS, penyakit menular, “peperangan” (invasi AS di Irak dan Afghanistan) serta rusaknya lingkungan hidup. Semua itu merupakan masalah sosial global yang harus ditangani secara global pula.

Karenanya, di ufuk fajar milenium baru, menjadi tidak memadai lagi untuk bersandar pada adagium “think globally and act locally”. Masalah-masalah global memerlukan intervensi global. Pekerja sosial kini dituntut untuk merespon persoalan global dengan pikiran dan tindakan global pula; “think globally and act globally”.

Tugas Pekerja Sosial

Misi dan tugas apa saja yang dapat dilakukan pekerja sosial menghadapi globalisasi dan permasalahan sosial global ini? Kerangka peran dan tugas pekerjaan sosial dalam konteks penanganan persoalan sosial global pada dasarnya bisa dibagi menjad dua yaitu peranan langsung dan peranan tidak langsung. Gambar 2 menggambarkan model peran pekerja sosial dalam menangani permasalahan sosial global.

Secara langsung, peran pekerja sosial adalah turut menangani masalah-masalah sosial internasional yang diakibatkan globalisasi, seperti pengungsi, konflik, perdagangan manusia, HIV/AIDS, dll. Peranan pekerja sosial yang lebih bernuansa direct practitioner, seperti konselor, fasilitator, pemberdaya, pembela, broker, dan mediator masih tetap relevan dalam konteks ini. Namun demikian, ketiganya tidak dapat dilakukan secara terpisah-pisah dan terjebak pada jargon metodologi “tiga-serangkai”, casework, groupwork dan communitywork. Seperti dinyatakan Hardiman dan Midgley (1982), ketiganya hanyalah merupakan the three major fields of social work practice. Dalam pelaksanaan tugas-tugas pekerja sosial di lapangan, teknologi pekerjaan sosial tidak lagi dibatasi oleh tiga kerangka pendekatan tersebut, melainkan harus sudah melebur menjadi pendekatan yang tepat sesuai dengan bidang dan karakteristik masalah global yang dihadapi.

Secara tidak langsung, peran pekerja sosial tidak dilakukan dengan membantu mereka yang mengalami masalah sosial atau para “pemerlu pelayanan sosial”, melainkan diarahkan pada keterlibatan dalam analisis dan perancangan kebijakan sosial internasional. Sejumlah ahli, seperti Gosta Esping-Andersen (1996), Ramesh Mishra (1999), Bob Deacon (2000) sudah lama mengusulkan soal international social policy ini. Aktivis dan analis kebijakan sosial adalah dua peranan penting dalam skenario ini yang intinya difokuskan pada perlawanan terhadap globalisasi dan neoliberalisme.

Seperti dijelaskan di muka, persoalan nasional sangat dipengaruhi oleh percaturan internasional. Karenanya, beberapa agenda yang perlu mendapat perhatian pekerja sosial dalam skenario ini mencakup aras internasional maupun nasional (lihat Esping-Andersen, 1996; Mishra, 1999; Deacon, 2000; Baswir, 2003; Khodori, 2003).

Aras internasional:

Perumusan dan penetapan norma dan standar-standar mengenai hak-hak sosial internasional yang mengarah pada terciptanya sebuah tatanan dunia yang lebih baik; yang saling memerlukan, saling bersahabat, saling memajukan dan mensejahterakan dalam keharmonisan, kedamaian, dan kesetaraan.

Pembentukan dan atau pendefinisian kembali lembaga-lembaga internasional yang lebih seimbang dan responsif terhadap persoalan-persoalan kesejahteraan sosial, seperti pencegahan perang sipil, konflik sosial, penularan penyakit, pengungsian, dan degradasi lingkungan internasional.

Penginjeksian tujuan-tujuan sosial internasional kedalam sistem ekonomi global melalui regulasi sosial perekonomian global: (a) penetapan dimensi-dimensi sosial dalam perdagangan internasional dan bilateral, (b) penetapan tanggungjawab sosial MNC bagi pembangunan sosial, (c) reformasi struktur perpajakan baik untuk mengeliminasi kompetisi perpajakan maupun guna meningkatkan pendapatan global bagi pembangunan sosial

Penataan ulang bantuan internasional dan tatanan keuangan internasional maupun regional agar memiliki implikasi langsung bukan saja terhadap perekonomian nasional, melainkan pula kesejahteraan sosial.

Aras nasional:

Penguatan kembali peran publik dan negara demokratis yang memungkinakn pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial dapat dilaksanakan oleh lembaga sosial (pemerintah dan masyarakat) yang tepat.

Pembatasan pasar pada tempat yang tepat sehingga kepentingan pedagang tidak melanggar atau bahkan “merusak” kepentingan publik.

Perluasan konsep dan jangkauan “masyarakat bertanggungjawab” yang mencakup baik tanggungjawab masyakat sipil maupun masyarakat bisnis.

Penetapan sistem jaminan sosial nasional yang sedikitnya mencakup dimensi pendidikan, kesehatan dan pemeliharaan penghasilan secara integratif.

Hambatan

Pekerjaan sosial adalah salah satu dari banyak pemain yang memiliki tugas merespon realitas dan konsekuensi sosial globalisasi. Skope kemiskinan global dan intensitas konflik etnis memerlukan respon ekonomi dan politik dari negara-negara dan organisasi-orgaisasi internasional. Tantangan global mengharuskan tindakan pada berbagai tingkatan dan melibatkan berbagai profesi. Namun demikian, masalah-masalah global secara langsung berkaitan dengan komitmen dan keahlian pekerjaan sosial.

Meskipun pekerjaan sosial secara jelas memiliki peran penting dalam menangani masalah sosial global, masih terdapat beberapa hambatan yang menghadang pelaksanaan peran tersebut secara efektif (Hokenstad, Khinduka dan Midgley, 1992). Rendahnya status profesional dan sumberdaya mempengaruhi para pekerja sosial di banyak negara dan membatasi kapasitas mereka dalam memecahkan permasalahan sosial. Di beberapa negara, para pekerja sosial terlibat dalam memperjuangkan keadilan sosial, tetapi mereka seringkali berhadapan dengan tekanan politik dan mengalami resiko pribadi. Selain itu, kebijakan-kebijakan pemerintah dan struktur pelayanan sosial seringkali membatasi, ketimbang memperluas peranan pekerja sosial.

Semua rintangan tersebut hanya dapat dihadapi dengan baik oleh pekerja sosial sendiri. “Social work remains a creature of its own destiny,” begitu kata Hokenstad dan Midgley (1997:3). Status profesional ditentukan oleh tingkat pendidikan para pekerja sosial. Pengaruh politik dapat ditingkatkan melalui keahlian dan organisasi yang tepat. Apresiasi masyarakat terhadap kontribusi pekerjaan sosial sangat tergantung pada bagaimana para pekerja sosial mampu mendefinisikan dan menentukan prioritas-prioritas serta pilihan-pilihan bidang praktik. Pekerjaan sosial sebagai profesi dan pekerja sosial sebagai praktisi profesional dituntut untuk senantiasa kreatif dan inovatif dalam menghadapi berbagai tantangan. Keberhasilan pekerja sosial di beberapa negara dalam menangani masalah sosial global seperti HIV/AIDS mengindikasikan bahwa pekerjaan sosial semakin relevan untuk berkiprah di tingkat global.

Apa yang mesti dilakukan?

Bagaimana agar profesi pekerjaan sosial dapat menempatkan posisinya secara tepat dalam merespon permasalahan global? Bagaimana agar para pekerja sosial semakin siap menjadi pemain yang baik dalam pertandingan lobal? Diskusi dan debat mengenai hal ini selayaknya menjadi prioritas, jika pekerja sosial berharap dapat menjadi pemain penting di ranah internasional. Keterbatasan sumberdaya memang harus diakui adanya, tetapi jawaban atas pertanyaan di atas begitu jelas. Intinya: menyangkut aksi untuk memperkuat dimensi internasional pekerjaan sosial (Hokenstad dan Midgley, 1977:3-6).

Pertama, memperkuat kerangka lembaga profesi internasional. Beberapa organisasi internasional memberi identitas pada pekerjaan sosial. Yang paling jelas adalah Federasi Internasional Pekerja Sosial (International Federation of Social Workers/IFSW) dan Asosiasi Internasional Sekolah-Sekolah Pekerjaan Sosial (International Association of Schools of Social Work/IASSW). Keduanya memiliki program aktif dan melibatkan para pekerja sosial di seluruh dunia. IFSW sangat aktif khususnya dalam memperjuangkan penegakkan HAM. IASSW aktif menyebarkan informasi dan dukungan terhadap program-program pendidikan internasional, serta menyiapkan para pendidik pekerjaan sosial dalam hal pengajaran internasional. Namun demikian, kedua organisasi ini belum menjadi lembaga yang kuat. Dukungan dana masih terbatas. Program mereka masih kurang menyebar secara luas kepada para pekerja sosial di seluruh dunia. Selain melalui kongres-kongres tahunan, hanya beberapa pekerja sosial saja yang memiliki akses terhadap program-program IFSW dan IASSW.

Dewan Internasional untuk Kesejahteraan Sosial (International Council on Social Welfare/ICSW) dan Konsorsium Antar Universitas untuk Pembangunan Sosial Internasional (Inter-University Consortium on International Development/IUCISD) memiliki hubungan erat dengan pekerjaan sosial. Lembaga-lembaga tersebut bergerak dalam arena kesejahteraan sosial dan pembangunan sosial secara luas. Namun sebagian besar kepemimpinannya berasal dari profesi pekerjaan sosial. Sebagian besar program-programnnya juga bersentuhan dengan peranan pekerjaan sosial internasional. Sayangnya, kedua lembaga ini pun masih fragile dan masih jarang diketahui oleh para pekerja sosial.

Terlepas dari beberapa kelemahan yang dimilikinya, organisasi-organisasi tersebut, serta lembaga-lembaga sejenis yang bergerak dalam bidang khusus (kesejahteraan anak, lanjut usia, dan kesehatan mental), merupakan kendaraan penting bagi keterlibatan pekerja sosial internasional. Lembaga-lembaga tersebut berperan sebagai fungsi pendidikan dan kadang-kadang sangat efektif berperan sebagai penekan terhadap agenda-agenda internasional. Hanya saja, organisasi tersebut memerlukan peningkatan keterlibatan dan dukungan dari lembaga-lembaga pekerjaan sosial nasional serta para pekerja sosial yang memiliki posisi penting agar dapat lebih menjadi organisasi yang diperhitungkan dalam arena global. Sebuah kerangka lembaga yang kuat merupakan prasyarat utama yang dapat menegaskan peran dan keberadaan pekerjaan sosial.

Kedua, meningkatkan keterlibatan pekerja sosial di PBB dan lembaga non-pemerintah internasional (INGO/ORNOPI). Para pekerja sosial telah menunjukkan kepemimpinan di UN Centre for Social Development and Humanitarian Affairs (UNCSDHA), UNICEF, UNHCR dan WHO, meskipun masih terbatas pada beberapa individu saja. Sebagian kecil ORNOP internasional, seperti International Social Service, memiliki nuansa pekerjaan sosial, namun sebagian besar tidak. Badan-badan amal dan pembangunan sosial internasional semisal Cooperative for American Relief Everywhere (CARE) dan OXFAM melibatkan sedikit pekerja sosial meskipun memiliki banyak program yang terkait secara langsung dengan fungsi pekerjaan sosial. Di AS, negara dimana pekerjaan sosial telah memiliki tempat penting, ternyata para pekerja sosialnya belum banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan internasional. Healy menyatakan (1995): secara umum para pekerja sosial AS merupakan tenaga profesional yang paling dominan dalam bidang kesejahteraan sosial domestik. Namun, mereka masih belum banyak terlibat di badan-badan pembangunan sosial internasional, belum tersentuh oleh gerakan pendidikan pekerjaan sosial internasional, dan belum tertarik pada kebijakan kesejahteraan sosial yang bermatra internasional. Padahal sangat jelas bahwa organisasi profesi dan para pekerja sosial secara individu harus memiliki kepedulian dan peranan lebih aktif lagi dalam lembaga-lembaga PBB dan ORNOP internasional, jika pekerjaan sosial ingin merespon secara efektif realitas globalisasi.

Ketiga, peningkatan peran pekerjaan sosial dalam merespon isu-isu global memerlukan pendidikan pekerjaan sosial yang berdimensi internasional. Program-program pendidikan bagi para pekerja sosial di seluruh dunia hanya memberi sedikit perhatian terhadap isu-isu sosial yang berada di luar batas negaranya. Sebagian besar mahasiswa hanya memiliki sedikit pengetahuan mengenai peranan-peranan internasional yang dapat dimainkan pekerja sosial. Kurikulum pekerjaan sosial sangat “penuh sesak” dengan berbagai mata kuliah, namun terdapat persepsi diantara para pengajar bahwa konten internasional tidaklah relevan bagi praktik sebagian besar pekerjaan sosial. Sejumlah sekolah pekerjaan sosial memang telah memiliki beberapa materi internasional dalam kurikulumnya, namun masih terfokus pada perbandingan kebijakan dan program antar negara dan bukan pada isu-isu dan peranan-peranan global.

Keempat, pertukaran internasional merupakan satu cara penting untuk menggairahkan peranan dan intervensi pekerjaan sosial terhadap isu-isu global. Program pertukaran dapat memberikan pelajaran berkesan dan meningkatkan komitmen para pekerja sosial dalam percaturan dunia. Pertukaran selama ini masih belum seimbang. Sebagian besar mahasiswa datang ke AS, dan sebagian besar tenaga pengajar AS datang ke negara lain untuk mengajar, meneliti dan memberi konsultasi. Selama lebih dari 40 tahun, sebuah Dewan Program Internasional untuk Pekerja Sosial dan Pekerja Muda (The Council of International Programs for Social Workers and Youth Workers) telah berhasil memberikan pengalaman dan pemahaman lintas negara kepada ribuan pekerja sosial. Meski begitu, pertukaran harus diperluas dari program perseorangan menjadi kelembagaan.

Program bilateral dalam konteks pendidikan pekerjaan sosial lintas negara telah ada, namun belum meluas. Program pertukaran antar lembaga pelayanan sosial masih sangat jarang terjadi. Interaksi bilateral jangka panjang diantara lembaga atau program pendidikan antar negara dapat berkembang menjadi program kerjasama (kolaborasi). Karenanya, program pertukaran yang melembaga dapat memperluas kesempatan bagi para pekerja sosial untuk lebih terdidik secara internasional. Lebih jauh, program tersebut dapat memperkokoh infrastruktur kelembagaan bagi peningkatan peran pekerja sosial dalam skala global.

EPILOG

Dunia sedang berubah. Perubahan tersebut berlangsung secara massif. Globalisasi adalah terma yang tepat untuk menggambarkan transformasi maha cepat dan luas itu. Globalisasi digerakkan oleh, dan bahkan identik dengan, neoliberalisme. Neoliberalisme memuat doktrin yang sangat yakin pada dogma pasar bebas. Terbukanya pasar ini, di satu sisi, dapat memperluas kesempatan produksi dan meningkatkan kemakmuran. Namun di sisi lain, mitos “tangan-tangan tak kelihatan”, hegemoni MNCs dan cengkraman lembaga-lembaga internasional merupakan tiga kekuatan besar yang dapat melahirkan persoalan-persoalan sosial global. Kesemua isyarat tersebut menggarsikan dengan sangat jelas bahwa pengelolaan dan penanganan masalah sosial global merupakan salah satu tantangan sangat strategis yang perlu mendapat perhatian serius dan terencana sedini mungkin. Sehingga memasuki dan mengisi abad global ini, persoalan-persoalan kemanusiaan tidak lagi menjadi beban berat dan nestapa berkepanjangan. Laksana sebuah labirin yang menyimpan misteri kompleks yang sulit dipecahkan.

Intervensi pekerja sosial hendaknya tidak hanya diarahkan untuk mengatasi masalah sosial global yang muncul akibat globalisasi itu. Melainkan, harus pula tanggap dan piawai merespon agenda-agenda globalisasi dan neoliberalisme yang penuh dengan muatan ideologi dan kepentingan kapitalis internasional itu. Peranan pekerja sosial dalam penanganan masalah sosial global ini dapat dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Konselor, Fasilitator, Pemberdaya, Pembela, Broker, Mediator, Aktivis dan Analis Kebijakan Sosial adalah beberapa contoh peran yang dapat dimainkan pekerja sosial dalam konteks global.

Akhirnya, agar mampu merespon globalisasi dan akibat-akibatnya, pembangunan kesejahteraan sosial dan para pekerja sosial di Indonesia memerlukan komitmen yang lebih kuat untuk meredefinisi dan merekonstruksi keahlian profesionalnya. Penguatan keterlibatan pekerja sosial dalam lembaga-lembaga profesi internasional, badan-badan PBB dan ORNOP internasional, serta peningkatan lembaga dan program pendidikan pekerjaan sosial yang berwawasan internasional merupakan beberapa isu strategis yang perlu mendapat perhatian secara saksama, dan tentunya, dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.*