Senin, 23 Desember 2013

MEMBANGUN SINERGITAS DAN PROFESIONALITAS PEKERJA SOSIAL YANG HANDAL


oleh :
(Drs.H.Sudarman,M.Si Widyaiswara Utama)

PENDAHULUAN
Berkembangnya masalah sosial akibat dari krisis, konflik sosial, bencana alam dan gejala disiintegrasi sosial, membutuhkan penanganan secara holistik dan komprehensif.  Jenis masalah sosial yang dimaksud dapat dikelompokkan, antara lain: kemiskinan dan kerawanan sosial ekonomi; ketunaan sosial; keterlantaran; kecacatan; keterpencilan/keterisolasian; kebencanaan dan kedaruratan; kekerasan, eksploitasi dan diskriminatif.
Masalah sosial tersebut dialami oleh anak, keluarga, komunitas dan masyarakat; yang mengalami hambatan fungsi sosial (disfungsi sosial) atau mengalami masalah struktural dan budaya,  antara lain:
§  Hambatan fisik, misalnya kecacatan fisik, kecatatan mental,
§  Hambatan ilmu pengetahuan, misalnya kebodohan, kekurangtahuan informasi,
§  Hambatan keterampilan, misalnya tidak mempunyai keahlian yang sesuai dengan permintaan lapangan kerja modern,
§  Hambatan mental/sosial psikologis, misalnya kurang motivasi, kurang percaya diri, depresi/stres,
§  Hambatan budaya, misalnya mempertahankan tradisi yang kurang mendukung kemajuan sosial/modernisasi,
§  Hambatan geografis, misal keterpencilan terhadap fasilitas pelayanan sosial dasar.
Dalam situasi seperti itu, dibutuhkan intervensi pekerjaan sosial bagi individu, keluarga, kelompok dan komunitas, agar mereka memiliki aksesibilitas terhadap pelayanan sosial dasar dalam rangka mencapai taraf kesejahteraan dan kualitas hidup yang memadai.
Pelayanan kesejahteraan sosial didukung dengan kebijakan dan program pembangunan nasional bidang kesejahteraan sosial. Dalam hal ini Kementerian Sosial sebagai bagian dari pemerintah pusat yang mempunyai mandat dan tugas pokok serta fungsi di bidang pembangunan kesejahteraan sosial. Kemampuan pemerintah melalui Kementerian Sosial dalam menangani masalah sosial dalam lima tahun terakhir hanya menjangkau rata-rata sekitar 8% dari total Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang mencapai sebanyak 15,5 juta jiwa.
Dalam situasi dan kondisi perkembangan permasalahan sosial dan tuntutan publik terhadap orientasi kebijakan dan program pembangunan kesejahteraan sosial yang bertumpu pada keadilan untuk semua dan melindungi hak asasi manusia pada masa yang akan datang, dibutuhkan tenaga-tenaga profesional pekerjaan sosial.
Jika ratio Pekerja Sosial (Social Worker) dengan penyandang masalah kesejahteraan sosial minimal satu berbanding 100, maka kebutuhan Pekerja Sosial di Indonesia paling sedikit sebanyak 155.000 orang. Estimasi jumlah PMKS tahun 2012 sebanyak 15,5 juta keluarga, sedangkan jumlah Pekerja Sosial saat ini sekitar 15.522 orang. Dengan demikian masih diperlukan sekitar 139.000 Pekerja Sosial.
Kita patut berterima kasih atas partisipasi masyarakat sebagai Tenaga Kesejahteraan Sosial Masyarakat (TKSM) atau Welfare Worker seperti PSM, Karang Taruna, Tagana, dan lain-lain, yang tercatat sebanyak 378.394 TKSM. Dengan adanya TKSM, maka tugas-tugas penanganan masalah sosial terbantu secara sukarela. Namun demikian, pada masa yang akan datang profesionalisme penanganan masalah sosial menjadi suatu keharusan dan menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.

II.    Eksistensi Pekerjaan Sosial
Mengacu kepada UU No. 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Pekerja Sosial merupakan ‘the leading profession” dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Pada saat ini, eksistensi Pekerjaan Sosial sebagai profesi dalam konteks Indonesia sedang memasuki tahapan penting dan strategis, antara lain: 
Pertama, semakin kuatnya pengakuan Pekerja Sosial Profesional sebagaimana tertuang dalam Peraturan Perundang-undangan; seperti dalam UU No. 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial, UU No. 13/2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, dan UU No. 12/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Hal ini menjadi landasan hukum yang kuat untuk penyediaan tenaga-tenaga profesional Pekerja Sosial di Indonesia.
Kedua,    dalam waktu dekat, Pekerja Sosial akan memasuki sebuah era baru yaitu Sertifikasi Kompetensi Pekerja Sosial dan Tenaga Kesejahteraan Sosial yang difasilitasi oleh pemerintah melalui Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial (LSPS). Demikian juga Akreditasi Lembaga Kesejahteraan Sosial oleh Badan Akreditasi Lembaga Kesejahteraan Sosial (BALKS), akan semakin memperkuat eksistensi profesi Pekerja Sosial, karena LKS akan semakin menyadari bahwa SDM yang bekerja harus sedemikian rupa memiliki kompetensi Pekerja Sosial profesional. Sistem sertifikasi dan  akreditasi ini juga akan mempengaruhi sistem pendidikan profesi, sistem pelatihan sertifikasi kompetensi dan spesialisasi pekerjaan sosial.
Ketiga, kita juga tengah menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Praktek Pekerjaan Sosial. Dengan demikian, dapat dirumuskan secara legal dengan mandat yang sangat kuat tentang definisi pekerjaan sosial dan praktek pekerjaan sosial, pelaku pekerja sosial, persyaratan, jenjang pendidikan, kedudukan, tugas dan fungsinya, sertifikasi, Asosiasi Pendidikan Pekerjaan Sosial, Asosiasi Pekerja Sosial, dan kewajiban bagi lembaga pelayanan sosial menggunakan pekerja sosial bersertifikat. Hal ini bermanfaat sebagai bentuk pertanggung jawaban praktek pekerjaan sosial kepada masyarakat luas.
RUU Praktek Pekerjaan Sosial saat ini sedang dalam proses pengusulan dalam Program Legislasi Nasional oleh DPR. mudah-mudahan RUU Praktek Pekerjaan Sosial pada tahun 2014 telah disahkan menjadi Undang-Undang.
Keempat, perkembangan keilmuan pekerjaan sosial yang sangat pesat khususnya dalam era neoliberalisme menuntut para pekerja sosial Indonesia untuk selalu melakukan inovasi dan kreatifitas agar berbagai pendekatan intervensi tidak menjadi menara gading tetapi dapat menyentuh kebutuhan masyarakat.
Dengan keyakinan yang kuat dan kerjasama erat serta saling mendukung dari unsur akademisi, praktisi, asosiasi profesi dan pendidikan, masyarakat, dan birokrasi, maka profesi pekerjaan sosial akan semakin eksis dan profesional.

III.   Operasionalisasi Pekerjaan Sosial
Pendidikan Pekerjaan sosial mempunyai tanggung jawab untuk menanamkan dan mencetak intelektual sebagai kader bangsa yang peduli terhadap penanganan masalah sosial. Utamanya di wilayah Timur Indonesia yang hingga kini masih banyak membutuhkan pekerja sosial untuk melakukan pemberdayaan dan menjadi agen perubahan dalam masyarakat.
Oleh karena itu, merupakan suatu tugas yang mulia bagi tenaga kesejahteraan sosial untuk “Membangun sinergisitas dan profesionalitas  Pekerja Sosial yang handal guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat di Wilayah Timur Indonesia.  Sangat disadari bahwa pekerjaan sosial haruslah menjadi dekat dengan konteks di mana ia diaplikasikan. Oleh karena itu, memaknai dan mempraktekan pekerjaan sosial yang berbasis multikultur sesuai dengan karakteristik Bangsa Indonesia adalah tugas yang perlu dilakukan agar pekerjaan sosial dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Indonesia.
Indonesia sebagai negara kesatuan dengan ribuan pulau besar dan kecil, dihuni oleh penduduk dari berbagai etnik dan suku bangsa. Paling sedikit terdapat 300 etnik atau suku-bangsa di Indonesia. Pekerja sosial yang mendedikasikan diri dalam konteks Indonesia perlu memahami budaya multikultur. Kemampuan responsif atas keragaman budaya inilah yang disebut kompetensi budaya dari Pekerja Sosial (Multicultural Social Work).
Untuk mengintegrasikan kompetensi budaya pada pekerjaan sosial, maka ada lima prinsip dasar yang perlu dipahami: (1)   Menghargai perbedaan dan keragaman budaya;
(2) Menerapkan instrumen penilaian budaya dalam praktek pekerjaan sosial;
(3) Melatih kesadaran Pekerja Sosial tentang dinamika yang terjadi pada saat interaksi lintas-budaya;
(4) Memasukan pengetahuan budaya ke dalam kurikulum pendidikan dan melatih sikap lentur terhadap keragaman budaya;
(5)  Melatih kerjasama lintas-budaya, adaptasi budaya, dan pemahaman karagaman budaya.
Situasi sebagaimana gambaran tadi memotivasi kita untuk mengembangkan sistem pekerjaan sosial dalam konteks Indonesia, yang selaras dengan situasi dan kondisi sosial ekonomi dan budaya Indonesia.
Dalam upaya mendukung pengembangan pekerjaan sosial sesuai kebutuhan masyarakat Indonesia, perlu mencermati dilakukan hal-hal sebagai berikut:
1.   Mengembangkan sistem pendidikan dan pelatihan pekerjaan sosial berbasis kompetensi generalis dan spesialis
Praktek Pekerjaan Sosial adalah suatu pelayanan profesional yang didasarkan pada ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam relasi kemanusiaan yang bertujuan untuk membantu, baik secara perseorangan, keluarga maupun kelompok masyarakat untuk mencapai kemandirian secara pribadi dan sosial. Berkembangnya masalah sosial yang semakin kompleks, membutuhkan pengetahuan dan keterampilan Pekerja Sosial yang tidak hanya mampu melaksanakan praktek pekerjaan sosial secara generalis, namun mengarah pada spesialisasi kompetensi pekerjaan sosial, seperti pekerjaan sosial dengan anak, keluarga dan sekolah; pekerjaan sosial dalam situasi bencana; pekerjaan sosial medis dan kesehatan publik; pekerjaan sosial dengan disabilitas; pekerjaan sosial forensik/ koreksional; dan lain-lain. Kebutuhan Pekerja Sosial yang spesialis dapat dipenuhi apabila sistem pendidikan dan pelatihan profesi Pekerja Sosial juga mengembangkan kurikulum pendidikan dan pelatihan pekerjaan sosial spesialis.



2.   Mengembangkan praktek pekerjaan sosial berbasis perseorangan, keluarga dan komunitas yang terintegrasi
Kebijakan dan program kesejahteraan sosial pada masa lalu cenderung dilaksanakan secara sektoral/fragmentaris,  jangkauan pelayanan sosial terbatas, reaktif merespon masalah yang aktual, fokus pada pelayanan berbasis institusi/panti sosial, serta belum adanya rencana strategis nasional yang dijadikan acuan bagi pemangku kepentingan dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu pada masa yang akan datang diperlukan kebijakan dan program kesejahteraan sosial yang terpadu dan berkelanjutan, serta dapat menjangkau seluruh warga negara yang mengalami masalah sosial, melalui sistem dan program kesejahteraan sosial yang melembaga dan profesional, serta  mengedepankan peran dan tanggung jawab keluarga dan masyarakat. Para pekerja sosial dituntut memiliki kompetensi pekerjaan sosial yang mengintegrasikan pendekatan dan intervensi kepada perseorangan, keluarga dan komunitas sebagai satu kesatuan entitas praktek pekerjaan sosial. Keberadaan institusi panti sosial perlu direvitalisasi sebagai pusat layanan kesejahteraan sosial berbasis keluarga dan komunitas.
3.   Mengembangkan organisasi profesi Pekerja Sosial yang mandiri
Keberadaan organisasi profesi Pekerja Sosial memiliki keunikan dan berbeda dengan negara-negara lain. Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia lahir atas semangat para alumni perguruan tinggi Ilmu Kesejahteraan Sosial untuk berhimpun dan berserikat atas nama organisasi profesi, walaupun sistem pendidikan profesi dan sertifikasi Pekerja Sosial belum lahir.  Kehadiran sistem setifikasi bagi Pekerja Sosial akan melahirkan para Pekerja Sosial sebagai profesi yang diakui dan bersertifikat. Adanya sertifikasi bagi Pekerja Sosial, akan menjadikan profesi Pekerja Sosial memperoleh lisensi/mandat bahkan dapat menyelenggarakan praktek secara mandiri. Oleh karena itu, organisasi profesi yang ada sekarang ini diharapkan dapat merevitalisasi diri sebagai organisasi profesi Pekerja Sosial yang mandiri.
4.   Membangun sistem pencegahan secara dini munculnya masalah sosial
Penekanan kebijakan untuk menjadikan Kementerian Sosial bukan sebagai “pemadam kebakaran” yang hanya beraksi ketika masalah sosial telah marak. Kementerian Sosial senantiasa bersinergi menggalang kekuatan dengan masyarakat serta komponen bangsa lain untuk mencegah permasalahan sosial secara dini.  Dampak sosial yang ditimbulkan semakin berat jika masalah sosial telah berlangsung dan membawa dampak sosial ekonomi yang kompleks. Oleh karena itu, sangat diperlukan keterlibatan perguruan tinggi lainnya yang mampu menjadi pilar utama dalam pencegahan secara  dini munculnya masalah sosial. Hal ini penting karena menurut sebagian kalangan, Perguruan Tinggi tidak boleh lengah mengemban peran sebagai inisiator dalam pengembangan “sistem peringatan dini”. Pentingnya “early warning system” bukan hanya untuk mencegah bencana alam namun juga untuk pencegahan berbagai masalah sosial/bencana sosial. Pekerja Sosial dalam mengemban mandatnya memiliki tugas untuk membangun sistem peringatan dini berbasis keluarga dan komunitas terhadap berbagai ancaman/risiko bencana sosial, budaya, ekonomi, dan politik, sebelum semuanya sudah menjadi begitu buruk. Untuk itu secara sistematis pendidikan kesejahteraan sosial dapat menjadi perintis untuk melahirkan pendekatan khas guna mencegah terjadinya atau meluasnya masalah sosial yang dapat diaplikasikan sesuai dengan karakteristik masyarakat Indonesia.
5.   Menanamkan kepekaan dan kesalehan sosial
Kepekaan dan kesalehan sosial tidak muncul begitu saja. Ia merupakan hasil dari sosialisasi nilai dan proses belajar. Kepekaan sosial sangat penting mengingat sampai saat ini struktur sosial budaya masyarakat Indonesia masih sangat beragam dalam pencapaian taraf kesejahteraan sosial. Kepekaan dan kesalehan sosial akan menjadi kekuatan yang sangat penting bagi penanganan masalah sosial. Selain khas Indonesia, nilai-nilai ini diyakini masih kuat melekat pada masyarakat Indonesia.  Kesenjangan sosial yang tinggi antara kaum kaya dan miskin berisiko terjadi kecemburuan sosial dan munculnya sikap anti sosial/anti kemapanan, bahkan dapat menimbulkan gejolak kerusuhan dan disintegrasi sosial. Dalam kondisi seperti ini, sifat individualistis yang hanya mementingkan diri sendiri sangat tidak cocok di Indonesia. Berdasarkan data BPS tahun 2011, diketahui indeks Gini Ratio sudah mencapai angka 0,41 yang menunjukkan kesenjangan sosial ekonomi semakin tinggi.
Pendidikan kesejahteraan sosial harus mampu merangsang dan mendorong masyarakat agar mampu mengimplementasikan nilai-nilai kesetiakawanan sosial atau solidaritas sosial sebagai jati diri bangsa Indonesia dalam bebagai bidang kehidupan. Harapan kita kepada para Pekerja Sosial agar memperkuat kepekaan dan kesalehan sosial dalam kehidupan bermasyarakat, misalnya melalui revitalisasi program/kegiatan pengabdian masyarakat yang lebih terencana, terarah dan terpadu, sambil menginternalisasikan kepekaan dan kesalehan sosial civitas academica. Sifat-sifat Sidik, Amanah, Fathonah dan Tablig, selayaknya menjadi citra diri Pekerja Sosial di Indonesia.
6.   Optimalisasi Tri Dharma Perguruan Tinggi
Peran Pendidikan kesejahteraan sosial dalam perkembangan kehidupan sosial tercermin dari pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu dharma pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Dengan dharma pendidikan diharapkan perguruan tinggi dapat mencerahkan masyarakat. Dengan dharma penelitian diharapkan dapat melakukan temuan-temuan inovasi teknologi pekerjaan sosial. Adapun dharma pengabdian masyarakat diharapkan mampu mengaplikasikan kompetensi pekerjaan sosial dalam memberikan pelayanan sosial kepada masyarakat. Optimalisasi pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi antara lain dengan mengemas substansinya agar relevan dengan kebutuhan masyarakat khususnya dalam rangka mengatasi masalah sosial di masyarakat. Masalah sosial dapat didekati dari sisi akademis untuk dapat diurai dan dipahami, kemudian masalah sosial dapat dikaji, diteliti agar menghasilkan solusi atau model penanganan yang tepat cara dan diterapkan melalui pengabdian masyarakat dalam kesempatan sesegera mungkin.

IV.  Pekerja Sosial Sebagai Pendamping Sosial
Kementerian Sosial pada tahun ini sedang menyusun Standar Nasional Pendampingan Sosial. Melalui upaya ini diharapkan program-program prioritas nasional  seperti PNPM, PKH, BOS, RASKIN dan PKSA, didampingi oleh para pendamping sosial yang terstandarkan kompetensinya secara nasional. Sistem pendampingan sosial yang dimaksud adalah berbasis kompetensi pekerjaan sosial, dan hal ini sejalan dengan semangat kita semua tentang perlunya Undang-Undang yang mengatur Praktek Pekerjaan Sosial di Indonesia.
Para pendidikan kesejahteraan sosial jika diperankan sebagai pendamping sosial akan membawa pencerahan untuk membawa transformasi bangsa dalam memberantas kemiskinan dan mengendalikan masalah sosial. Para mahasiswa atau lulusan pendidikan kesejahteraan sosial harus menunjukkan kompetensinya sebagai Pekerja Sosial yang memiliki keahlian profesional dalam program-program penanggulangan kemiskinan dan penanganan masalah sosial pada umumnya.
Kementerian Sosial telah memiliki kategori pendamping sosial, yakni mereka yang termasuk Pekerja Sosial, Tenaga Kesejahteraan Sosial, Relawan Sosial serta Penyuluh Sosial. Semua kategori pendamping tersebut membutuhkan spesifikasi kompetensi dan kualifikasi pekerjaan sosial. Berkenaan dengan itu, diharapkan pendidikan kesejahteraan sosial akan menjadi salah satu pusat pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Pendamping Sosial dimaksud.

V.      Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan kesejahteraan sosial tetap konsisten menjadi pusat pengembangan Profesi Pekerjaan Sosial. Dengan demikian mampu menghasilkan lulusan Pekerja Sosial yang memiliki dedikasi dan integritas profesional dalam menangani masalah kemiskinan dan masalah sosial lainnya, utamanya yang terdapat di wilayah Timur Indonesia.
Perlu dilakukan segera yang terbaik demi kesejahteraan masyarakat, kejayaan bangsa dan negara. Kementerian Sosial  selalu siap mengembangkan Profesi Pekerjaan Sosial bersama perguruan tinggi Ilmu Kesejahteraan Sosial di seluruh Nusantara, untuk mewujudkan cita-cita bangsa yaitu masyarakat adil dan makmur.
Semoga apa yang menjadi cita-cita kita semua yakni mensejahterakan masyarakat dan mencerdaskan kehidupan bangsa mendapat ridho dan maghfirah dari Allah SWT.

                                                                           
                           
                                                                  PENULIS

















DAFTAR PUSTAKA
1. ISKANDAR, JUSMAN (1992) : Filsafat dan etika pekerjaan sosial, Bandung, KOPMA, STKS.
2.  PINCUS, ALLEN AND MINAHAN, ANNE (1973) : Social work model and method, Itasca, Illinois : FE : Peacock, Co.
3. SIPORIN, MAX (1975) : Introduction to Social Work Practice, New York, Macmillan, Publishing, Co. Iyye, Page : 192-326.
4.  SOETARSO, (1999) : Praktek pekerjaan sosial, Bandung, KOPMA, STKS.
5.  ZASTROW, CHARLES (2000) : Introduction to social work and social welfare, Belmond, California, Wadsworth, Publishing, Company.