oleh :
(Drs.H.Sudarman,M.Si Widyaiswara
Utama)
PENDAHULUAN
Berkembangnya
masalah sosial akibat dari krisis, konflik sosial, bencana alam dan gejala
disiintegrasi sosial, membutuhkan penanganan secara holistik dan
komprehensif. Jenis masalah sosial yang
dimaksud dapat dikelompokkan, antara lain: kemiskinan dan kerawanan sosial
ekonomi; ketunaan sosial; keterlantaran; kecacatan; keterpencilan/keterisolasian;
kebencanaan dan kedaruratan; kekerasan, eksploitasi dan diskriminatif.
Masalah sosial tersebut dialami oleh anak, keluarga, komunitas dan
masyarakat; yang mengalami hambatan fungsi sosial (disfungsi sosial) atau
mengalami masalah struktural dan budaya,
antara lain:
§ Hambatan
fisik, misalnya kecacatan fisik, kecatatan mental,
§ Hambatan
ilmu pengetahuan, misalnya kebodohan, kekurangtahuan informasi,
§ Hambatan
keterampilan, misalnya tidak mempunyai keahlian yang sesuai dengan permintaan
lapangan kerja modern,
§ Hambatan
mental/sosial psikologis, misalnya kurang motivasi, kurang percaya diri, depresi/stres,
§ Hambatan
budaya, misalnya mempertahankan tradisi yang kurang mendukung kemajuan
sosial/modernisasi,
§ Hambatan
geografis, misal keterpencilan terhadap fasilitas pelayanan sosial dasar.
Dalam situasi seperti itu,
dibutuhkan intervensi pekerjaan sosial bagi individu, keluarga,
kelompok dan komunitas, agar mereka memiliki aksesibilitas terhadap pelayanan
sosial dasar dalam rangka mencapai taraf kesejahteraan dan kualitas hidup yang
memadai.
Pelayanan
kesejahteraan sosial didukung dengan kebijakan dan program pembangunan nasional
bidang kesejahteraan sosial. Dalam hal ini Kementerian Sosial sebagai bagian
dari pemerintah pusat yang mempunyai mandat dan tugas pokok serta fungsi di
bidang pembangunan kesejahteraan sosial. Kemampuan pemerintah melalui
Kementerian Sosial dalam menangani masalah sosial dalam lima tahun terakhir
hanya menjangkau rata-rata sekitar 8% dari total Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang mencapai sebanyak 15,5
juta jiwa.
Dalam situasi dan kondisi perkembangan permasalahan sosial dan tuntutan
publik terhadap orientasi kebijakan dan program pembangunan kesejahteraan
sosial yang bertumpu pada keadilan untuk semua dan melindungi hak asasi manusia
pada masa yang akan datang, dibutuhkan tenaga-tenaga profesional pekerjaan
sosial.
Jika ratio Pekerja Sosial (Social
Worker) dengan penyandang masalah kesejahteraan sosial minimal satu
berbanding 100, maka kebutuhan Pekerja Sosial di Indonesia paling sedikit
sebanyak 155.000 orang. Estimasi jumlah PMKS tahun 2012 sebanyak 15,5 juta
keluarga, sedangkan jumlah Pekerja Sosial saat ini sekitar 15.522 orang. Dengan
demikian masih diperlukan sekitar 139.000 Pekerja Sosial.
Kita patut berterima kasih atas partisipasi masyarakat sebagai Tenaga
Kesejahteraan Sosial Masyarakat (TKSM) atau Welfare Worker seperti PSM, Karang Taruna, Tagana, dan lain-lain, yang tercatat sebanyak 378.394 TKSM.
Dengan adanya TKSM, maka tugas-tugas penanganan masalah sosial terbantu
secara sukarela. Namun demikian, pada masa yang akan datang profesionalisme
penanganan masalah sosial menjadi suatu keharusan dan menjadi tanggung jawab
pemerintah dan masyarakat.
II. Eksistensi Pekerjaan Sosial
Mengacu kepada UU No. 11/2009 tentang
Kesejahteraan Sosial, Pekerja Sosial merupakan ‘the leading profession” dalam penyelenggaraan kesejahteraan
sosial. Pada saat ini, eksistensi Pekerjaan Sosial sebagai profesi dalam
konteks Indonesia sedang memasuki tahapan penting dan strategis, antara
lain:
Pertama, semakin kuatnya
pengakuan Pekerja Sosial Profesional sebagaimana tertuang dalam Peraturan
Perundang-undangan; seperti dalam UU No. 11/2009 tentang
Kesejahteraan Sosial, UU No. 13/2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, dan UU
No. 12/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Hal ini menjadi landasan
hukum yang kuat untuk penyediaan tenaga-tenaga profesional Pekerja Sosial di
Indonesia.
Kedua, dalam waktu dekat, Pekerja Sosial akan memasuki sebuah era
baru yaitu Sertifikasi Kompetensi Pekerja Sosial dan Tenaga Kesejahteraan
Sosial yang difasilitasi oleh pemerintah melalui Lembaga Sertifikasi Pekerjaan
Sosial (LSPS). Demikian juga Akreditasi Lembaga Kesejahteraan Sosial oleh Badan
Akreditasi Lembaga Kesejahteraan Sosial (BALKS), akan semakin memperkuat
eksistensi profesi Pekerja Sosial, karena LKS akan semakin menyadari bahwa SDM
yang bekerja harus sedemikian rupa memiliki kompetensi Pekerja Sosial
profesional. Sistem sertifikasi dan
akreditasi ini juga akan mempengaruhi sistem pendidikan profesi, sistem
pelatihan sertifikasi kompetensi dan spesialisasi pekerjaan sosial.
Ketiga, kita juga tengah
menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Praktek Pekerjaan Sosial. Dengan
demikian, dapat dirumuskan secara legal dengan mandat yang sangat kuat tentang
definisi pekerjaan sosial dan praktek pekerjaan sosial, pelaku pekerja sosial,
persyaratan, jenjang pendidikan, kedudukan, tugas dan fungsinya, sertifikasi,
Asosiasi Pendidikan Pekerjaan Sosial, Asosiasi Pekerja Sosial, dan kewajiban bagi lembaga pelayanan sosial menggunakan pekerja
sosial bersertifikat. Hal ini bermanfaat sebagai bentuk pertanggung jawaban
praktek pekerjaan sosial kepada masyarakat luas.
RUU Praktek Pekerjaan Sosial saat ini sedang dalam proses pengusulan dalam Program
Legislasi Nasional oleh DPR. mudah-mudahan
RUU Praktek Pekerjaan Sosial pada tahun 2014 telah disahkan menjadi
Undang-Undang.
Keempat, perkembangan keilmuan pekerjaan sosial
yang sangat pesat khususnya dalam era neoliberalisme menuntut para pekerja
sosial Indonesia untuk selalu melakukan inovasi dan kreatifitas agar
berbagai pendekatan intervensi tidak menjadi menara gading tetapi dapat
menyentuh kebutuhan masyarakat.
Dengan keyakinan yang kuat dan kerjasama
erat serta saling mendukung dari unsur akademisi, praktisi, asosiasi profesi
dan pendidikan, masyarakat, dan birokrasi, maka profesi pekerjaan sosial akan
semakin eksis dan profesional.
III. Operasionalisasi Pekerjaan Sosial
Pendidikan Pekerjaan sosial mempunyai tanggung jawab untuk
menanamkan dan mencetak intelektual sebagai kader bangsa yang peduli terhadap
penanganan masalah sosial. Utamanya di wilayah Timur Indonesia yang hingga kini masih banyak membutuhkan pekerja
sosial untuk melakukan pemberdayaan dan menjadi agen perubahan dalam masyarakat.
Oleh karena itu,
merupakan suatu tugas yang mulia bagi tenaga kesejahteraan sosial untuk “Membangun
sinergisitas dan profesionalitas Pekerja
Sosial
yang handal guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat di Wilayah Timur Indonesia.”
Sangat disadari bahwa pekerjaan sosial haruslah menjadi dekat dengan
konteks di mana
ia diaplikasikan. Oleh karena itu, memaknai dan mempraktekan pekerjaan sosial yang berbasis multikultur
sesuai dengan karakteristik Bangsa Indonesia adalah tugas yang perlu dilakukan
agar pekerjaan sosial dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Indonesia.
Indonesia sebagai negara kesatuan dengan ribuan pulau besar dan kecil,
dihuni oleh penduduk dari berbagai etnik dan suku bangsa. Paling sedikit
terdapat 300 etnik atau suku-bangsa di Indonesia. Pekerja sosial yang
mendedikasikan diri dalam konteks Indonesia perlu memahami budaya multikultur.
Kemampuan responsif atas keragaman budaya inilah yang disebut kompetensi budaya
dari Pekerja Sosial (Multicultural Social
Work).
Untuk mengintegrasikan kompetensi budaya pada pekerjaan sosial, maka ada
lima prinsip dasar yang perlu dipahami: (1) Menghargai perbedaan dan keragaman
budaya;
(2) Menerapkan instrumen penilaian budaya dalam praktek
pekerjaan sosial;
(3) Melatih
kesadaran Pekerja Sosial tentang dinamika yang terjadi pada saat interaksi
lintas-budaya;
(4) Memasukan
pengetahuan budaya ke dalam kurikulum pendidikan dan melatih sikap lentur
terhadap keragaman budaya;
(5) Melatih
kerjasama lintas-budaya, adaptasi budaya, dan pemahaman karagaman budaya.
Situasi sebagaimana gambaran tadi
memotivasi kita untuk mengembangkan sistem pekerjaan sosial dalam konteks
Indonesia, yang selaras dengan situasi dan kondisi sosial ekonomi dan budaya
Indonesia.
Dalam upaya mendukung
pengembangan pekerjaan sosial sesuai kebutuhan masyarakat Indonesia, perlu mencermati dilakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Mengembangkan sistem pendidikan dan
pelatihan pekerjaan sosial berbasis kompetensi generalis dan spesialis
Praktek Pekerjaan Sosial adalah suatu
pelayanan profesional yang didasarkan pada ilmu pengetahuan dan keterampilan
dalam relasi kemanusiaan yang bertujuan untuk membantu, baik secara
perseorangan, keluarga maupun kelompok masyarakat untuk mencapai kemandirian
secara pribadi dan sosial. Berkembangnya masalah sosial yang semakin kompleks,
membutuhkan pengetahuan dan keterampilan Pekerja Sosial yang tidak hanya mampu
melaksanakan praktek pekerjaan sosial secara generalis, namun mengarah pada spesialisasi
kompetensi pekerjaan sosial, seperti pekerjaan sosial dengan anak, keluarga dan
sekolah; pekerjaan sosial dalam situasi bencana; pekerjaan sosial medis dan
kesehatan publik; pekerjaan sosial dengan disabilitas; pekerjaan sosial
forensik/ koreksional; dan
lain-lain. Kebutuhan Pekerja Sosial yang spesialis dapat dipenuhi
apabila sistem pendidikan dan pelatihan profesi Pekerja Sosial juga
mengembangkan kurikulum pendidikan dan pelatihan pekerjaan sosial spesialis.
2. Mengembangkan praktek pekerjaan sosial
berbasis perseorangan, keluarga dan komunitas yang terintegrasi
Kebijakan dan program kesejahteraan sosial
pada masa lalu cenderung dilaksanakan secara sektoral/fragmentaris, jangkauan pelayanan sosial terbatas, reaktif
merespon masalah yang aktual, fokus pada pelayanan berbasis institusi/panti
sosial, serta belum adanya rencana strategis nasional yang dijadikan acuan bagi
pemangku kepentingan dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu pada
masa yang akan datang diperlukan kebijakan dan program kesejahteraan sosial
yang terpadu dan berkelanjutan, serta dapat menjangkau seluruh warga negara
yang mengalami masalah sosial, melalui sistem dan program kesejahteraan sosial
yang melembaga dan profesional, serta
mengedepankan peran dan tanggung jawab keluarga dan masyarakat. Para
pekerja sosial dituntut memiliki kompetensi pekerjaan sosial yang
mengintegrasikan pendekatan dan intervensi kepada perseorangan, keluarga dan
komunitas sebagai satu kesatuan entitas praktek pekerjaan sosial. Keberadaan
institusi panti sosial perlu direvitalisasi sebagai pusat layanan kesejahteraan
sosial berbasis keluarga dan komunitas.
3. Mengembangkan organisasi profesi Pekerja
Sosial yang mandiri
Keberadaan organisasi profesi Pekerja Sosial memiliki
keunikan dan berbeda dengan negara-negara lain. Ikatan
Pekerja Sosial Profesional Indonesia lahir atas semangat para alumni perguruan
tinggi Ilmu Kesejahteraan Sosial untuk berhimpun dan berserikat atas nama
organisasi profesi, walaupun sistem pendidikan profesi dan sertifikasi Pekerja
Sosial belum lahir. Kehadiran sistem
setifikasi bagi Pekerja Sosial akan melahirkan para Pekerja Sosial sebagai
profesi yang diakui dan bersertifikat. Adanya
sertifikasi bagi Pekerja Sosial, akan menjadikan profesi Pekerja Sosial
memperoleh lisensi/mandat bahkan dapat menyelenggarakan praktek secara mandiri.
Oleh karena itu, organisasi profesi yang ada sekarang ini diharapkan dapat
merevitalisasi diri sebagai organisasi profesi Pekerja Sosial yang mandiri.
4. Membangun sistem pencegahan secara dini munculnya masalah
sosial
Penekanan
kebijakan untuk menjadikan Kementerian Sosial bukan sebagai “pemadam kebakaran”
yang hanya beraksi ketika masalah sosial telah marak. Kementerian Sosial senantiasa bersinergi menggalang kekuatan
dengan masyarakat serta komponen bangsa lain untuk mencegah permasalahan sosial
secara dini. Dampak sosial yang
ditimbulkan semakin berat jika masalah sosial telah berlangsung dan membawa
dampak sosial ekonomi yang kompleks. Oleh karena itu, sangat diperlukan keterlibatan perguruan tinggi lainnya yang mampu
menjadi pilar utama dalam pencegahan secara
dini munculnya masalah sosial. Hal ini penting karena menurut sebagian
kalangan, Perguruan Tinggi tidak boleh lengah mengemban peran sebagai inisiator
dalam pengembangan “sistem peringatan dini”. Pentingnya “early warning system” bukan hanya untuk mencegah bencana alam
namun juga untuk pencegahan berbagai masalah sosial/bencana sosial. Pekerja
Sosial dalam mengemban mandatnya memiliki tugas untuk membangun sistem
peringatan dini berbasis keluarga dan komunitas terhadap berbagai ancaman/risiko bencana sosial, budaya,
ekonomi, dan politik, sebelum semuanya sudah menjadi begitu buruk. Untuk itu secara sistematis pendidikan kesejahteraan
sosial dapat
menjadi perintis untuk melahirkan pendekatan khas guna mencegah terjadinya atau
meluasnya masalah sosial yang dapat diaplikasikan sesuai dengan karakteristik
masyarakat Indonesia.
5. Menanamkan kepekaan dan kesalehan sosial
Kepekaan
dan kesalehan sosial tidak muncul begitu saja. Ia merupakan hasil dari
sosialisasi nilai dan proses belajar. Kepekaan sosial sangat penting mengingat
sampai saat ini struktur sosial budaya masyarakat Indonesia masih sangat
beragam dalam pencapaian taraf kesejahteraan sosial. Kepekaan dan kesalehan
sosial akan menjadi kekuatan yang sangat penting bagi penanganan masalah
sosial. Selain khas Indonesia, nilai-nilai ini diyakini masih kuat melekat pada
masyarakat Indonesia. Kesenjangan sosial
yang tinggi antara kaum kaya dan miskin berisiko terjadi kecemburuan sosial dan munculnya sikap anti
sosial/anti kemapanan, bahkan dapat menimbulkan gejolak kerusuhan dan
disintegrasi sosial. Dalam kondisi seperti ini, sifat individualistis yang
hanya mementingkan diri sendiri sangat tidak cocok di Indonesia. Berdasarkan
data BPS tahun 2011, diketahui
indeks Gini Ratio sudah mencapai angka 0,41 yang menunjukkan kesenjangan sosial
ekonomi semakin tinggi.
Pendidikan
kesejahteraan sosial harus mampu merangsang dan mendorong masyarakat agar mampu
mengimplementasikan nilai-nilai kesetiakawanan sosial atau solidaritas sosial
sebagai jati diri bangsa Indonesia dalam bebagai bidang kehidupan. Harapan kita
kepada para Pekerja Sosial agar memperkuat kepekaan dan kesalehan sosial dalam
kehidupan bermasyarakat, misalnya melalui revitalisasi program/kegiatan
pengabdian masyarakat yang lebih terencana, terarah dan terpadu, sambil
menginternalisasikan kepekaan dan kesalehan sosial civitas academica.
Sifat-sifat Sidik, Amanah, Fathonah dan
Tablig,
selayaknya menjadi citra diri Pekerja Sosial di Indonesia.
6. Optimalisasi Tri Dharma Perguruan Tinggi
Peran
Pendidikan
kesejahteraan sosial dalam perkembangan kehidupan sosial tercermin dari
pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu dharma pendidikan, penelitian dan
pengabdian masyarakat. Dengan dharma pendidikan diharapkan perguruan tinggi
dapat mencerahkan masyarakat. Dengan dharma penelitian diharapkan dapat
melakukan temuan-temuan inovasi teknologi pekerjaan sosial. Adapun dharma
pengabdian masyarakat diharapkan mampu mengaplikasikan kompetensi pekerjaan
sosial dalam memberikan pelayanan sosial kepada masyarakat. Optimalisasi
pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi antara lain dengan mengemas
substansinya agar relevan dengan kebutuhan masyarakat khususnya dalam rangka
mengatasi masalah sosial di masyarakat. Masalah sosial dapat didekati dari sisi
akademis untuk dapat diurai dan dipahami, kemudian masalah sosial dapat dikaji,
diteliti agar menghasilkan solusi atau model penanganan yang tepat cara dan
diterapkan melalui pengabdian masyarakat dalam kesempatan sesegera mungkin.
IV. Pekerja Sosial Sebagai Pendamping Sosial
Kementerian Sosial pada
tahun ini sedang menyusun Standar
Nasional Pendampingan Sosial. Melalui upaya ini diharapkan program-program prioritas
nasional seperti PNPM, PKH, BOS, RASKIN dan PKSA, didampingi oleh para
pendamping sosial yang terstandarkan kompetensinya secara nasional. Sistem pendampingan
sosial yang dimaksud adalah berbasis kompetensi pekerjaan sosial, dan hal ini
sejalan dengan semangat kita semua tentang perlunya Undang-Undang yang mengatur
Praktek Pekerjaan Sosial di Indonesia.
Para pendidikan kesejahteraan
sosial jika
diperankan sebagai pendamping sosial akan membawa pencerahan untuk membawa
transformasi bangsa dalam memberantas kemiskinan dan mengendalikan masalah
sosial. Para mahasiswa atau lulusan pendidikan kesejahteraan sosial harus menunjukkan kompetensinya
sebagai Pekerja Sosial yang memiliki keahlian profesional dalam program-program
penanggulangan kemiskinan dan penanganan masalah sosial pada umumnya.
Kementerian Sosial telah
memiliki kategori pendamping sosial, yakni mereka yang termasuk
Pekerja Sosial, Tenaga Kesejahteraan Sosial, Relawan Sosial serta Penyuluh Sosial. Semua kategori pendamping tersebut
membutuhkan spesifikasi
kompetensi
dan kualifikasi pekerjaan sosial. Berkenaan dengan itu, diharapkan pendidikan kesejahteraan
sosial akan menjadi salah satu pusat pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM)
Pendamping Sosial dimaksud.
V. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa pendidikan kesejahteraan sosial tetap konsisten menjadi pusat pengembangan
Profesi Pekerjaan Sosial. Dengan demikian mampu menghasilkan lulusan Pekerja Sosial yang memiliki dedikasi
dan integritas profesional dalam menangani masalah kemiskinan dan masalah sosial lainnya, utamanya
yang terdapat di wilayah Timur Indonesia.
Perlu dilakukan segera
yang terbaik demi kesejahteraan masyarakat, kejayaan bangsa dan negara.
Kementerian Sosial selalu siap
mengembangkan Profesi Pekerjaan Sosial bersama perguruan tinggi Ilmu Kesejahteraan Sosial di seluruh Nusantara, untuk mewujudkan
cita-cita bangsa yaitu masyarakat adil dan makmur.
Semoga
apa yang menjadi cita-cita kita semua yakni mensejahterakan masyarakat dan mencerdaskan kehidupan bangsa mendapat ridho
dan maghfirah dari Allah SWT.
PENULIS
DAFTAR PUSTAKA
1. ISKANDAR, JUSMAN (1992) : Filsafat dan etika pekerjaan sosial, Bandung, KOPMA, STKS.
2. PINCUS, ALLEN AND MINAHAN, ANNE (1973) : Social work model and method, Itasca, Illinois
: FE : Peacock, Co.
3.
SIPORIN, MAX (1975) : Introduction to
Social Work Practice, New York, Macmillan, Publishing, Co. Iyye, Page : 192-326.
4. SOETARSO, (1999) : Praktek pekerjaan sosial, Bandung,
KOPMA, STKS.
5. ZASTROW, CHARLES (2000) : Introduction to social work and social
welfare, Belmond, California,
Wadsworth,
Publishing, Company.